Review: Heldy - Cinta Terakhir Bung Karno
...to read the English review, click here*
Judul: Heldy - Cinta Terakhir Bung Karno
Penulis: Ully Hermono & Peter Kasenda
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun 2011
Jumlah Halaman: 254
Point: 2.5
Judul: Heldy - Cinta Terakhir Bung Karno
Penulis: Ully Hermono & Peter Kasenda
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun 2011
Jumlah Halaman: 254
Point: 2.5
Kebanyakan orang Indonesia mungkin tidak mengenal siapa Heldy Djafar, istri terakhir sang president Indonesia pertama. Datang dari kota Tenggarong, Kalimantan, Heldy datang ke Jakarta bersama saudaranya untuk studi. Seorang gadis kecil dari kota kecil, kontak pertamanya dengan Presiden adalah hanyalah lewat siaran pidato kepresidenan di radio. Sebuah kejutan terbesar dalam hidupnya, Heldy akhirnya bertemu Presiden Soekarno secara pribadi ketika ia bergabung dengan Barisan Tunggal Ika.
Pertemuan pertama mengesankan berlanjut pada pertemuan kedua dan ketiga sampai Soekarno yang ketika itu berusia 68 tahun dan Heldy yang masih 18 tahun akhirnya bersama. Setelah lama berjuang dengan keraguannya atas cinta Soekarno yang telah memiliki beberapa istri pada waktu itu, Heldy memutuskan untuk menerima lamaran sang presiden dan menikahinya dalam jangka waktu setahun saling kenal.
Pertemuan pertama mengesankan berlanjut pada pertemuan kedua dan ketiga sampai Soekarno yang ketika itu berusia 68 tahun dan Heldy yang masih 18 tahun akhirnya bersama. Setelah lama berjuang dengan keraguannya atas cinta Soekarno yang telah memiliki beberapa istri pada waktu itu, Heldy memutuskan untuk menerima lamaran sang presiden dan menikahinya dalam jangka waktu setahun saling kenal.
Melalui cerita dikatakan, terjadi perubahan 180 derajat pada hidup Heldy semenjak Presiden secara terbuka menunjukkan minat khusus padanya. Dari diawasi oleh pengawal pribadi, kunjungan terus menerus dan sejumlah uang dan hadiah yang diberikan kepada Heldy dan keluarganya, seperti mobil Mercedes Benz dikirimkan hanya dalam hitungan satu hari dari permintaan serta perjalanan umroh. Tapi, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, kondisi politik yang kacau memutarbalikan keadaan keduanya. Di saat-saat sulit, sebagai pengantin baru pun mereka harus terpisahkan oleh aturan yang dibuat oleh sang presiden kedua yang mengkudeta posisi Soekarno sebagai presiden yakni, jenderalnya sendiri, Soeharto.
Pada masa ini, status Heldy sebagai istri muda juga memberinya tekanan, keterbatasan waktu dan ruang untuk bersama dengan suami yang mencintainya dan persaingan melawan istri-istri Soekarno yang terdahulu. Ketika ada banyak hal yang dia tidak bisa tangani mencapai puncaknya, ia akhirnya dapat berkumpul kembali dengan teman-teman lama dan termasuk pengagum rahasianya dulu. Heldy, kemudian, memutuskan untuk menikah dengan pria lain, seorang darah biru dari Kalimantan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan memiliki anak. Jelas, pernikahan itu menoreh luka lebih dalam bagi Soekarno dan menutup kisah cinta terakhirnya.
Meskipun diramalkan sebagai orang yang beruntung oleh beberapa orang-orang tertentu yang 'mengaku' memiliki indra keenam, Heldy pada kenyataannya menemukan jalan panjang untuk mendapatkan dan menemukan kembali kebahagiaannya. Keputusan tersulit dibuatnya adalah ketika meninggalkan Soekarno, kemudian menikahi seorang pangeran yang memberinya kebahagiaan sementara. Ironi pun berlanjut diceritakan. Heldy harus menghadapi masa-masa sulit lainnya saat Soekarno akhirnya meninggal. Tahun-tahun berlalu, putrinya, Maya, kemudian menikah dengan cucu Presiden Indonesia kedua, Ari Sigit, tetapi berakhir dengan perceraian pahit dan ia lalu berjuang dari kecanduan obat-obatan terlarang di mana Heldy pun turut membantu putrinya menemukan jalan keluar. Di saat keuangan mereka tipis, pembaca dibawa pada momen perih Heldy di mana ia harus menerima kenyataan untuk menjual semua hadiah-hadiah mahal Soekarno demi suami keduanya yang sakit dan tidak tersisa lagi materi dari tahun-tahun emasnya.
Menjadi suatu cara yang menarik untuk menggali sisi lain dari almarhum Presiden Indonesia, Soekarno, yaitu melalui sosok istri-istrinya. Semangatnya yang membawa bangsa Indonesia pada kemerdekaan, bersama dengan pesona dan warisan ia tinggalkan masih tak terlupakan. Romantisme, kisah cinta, pengorbanan, perjalanan---setiap bagian dari Soekarno telah menjadi nilai yang mengesankan dan berharga untuk ditemukan kembali.
Sayangnya, di sisi lain, biografi ini membuat kita, para pembaca, entah bagaimana, melihat gambaran Soekarno, sebagai seseorang yang memperlukan istri-istrinya seperti boneka dengan pemberian semua uang, properti, hadiah, perjalanan dan peluang karir yang mudah untuk saudara-saudaranya. Sulit untuk menjelaskannya karena narasi terpusat dari Heldy dan tidak ada wawancara yang dilakukan dengan anak-anak Soekarno atau pihak lainnya yang relevan. Namun, setiap kata yang ditulis dalam catatan untuk Heldy membuka lebih dalam jiwa puitis sang presiden, cara ia membagi kasih sayangnya, bagaimana ia memperlakukan seorang wanita. Desoekarnoisasi dapat saja pudar oleh sisi nyata manusiawi Soekarno seperti yang diceritakan kembali oleh istri terakhirnya itu.
Pada masa ini, status Heldy sebagai istri muda juga memberinya tekanan, keterbatasan waktu dan ruang untuk bersama dengan suami yang mencintainya dan persaingan melawan istri-istri Soekarno yang terdahulu. Ketika ada banyak hal yang dia tidak bisa tangani mencapai puncaknya, ia akhirnya dapat berkumpul kembali dengan teman-teman lama dan termasuk pengagum rahasianya dulu. Heldy, kemudian, memutuskan untuk menikah dengan pria lain, seorang darah biru dari Kalimantan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan memiliki anak. Jelas, pernikahan itu menoreh luka lebih dalam bagi Soekarno dan menutup kisah cinta terakhirnya.
Meskipun diramalkan sebagai orang yang beruntung oleh beberapa orang-orang tertentu yang 'mengaku' memiliki indra keenam, Heldy pada kenyataannya menemukan jalan panjang untuk mendapatkan dan menemukan kembali kebahagiaannya. Keputusan tersulit dibuatnya adalah ketika meninggalkan Soekarno, kemudian menikahi seorang pangeran yang memberinya kebahagiaan sementara. Ironi pun berlanjut diceritakan. Heldy harus menghadapi masa-masa sulit lainnya saat Soekarno akhirnya meninggal. Tahun-tahun berlalu, putrinya, Maya, kemudian menikah dengan cucu Presiden Indonesia kedua, Ari Sigit, tetapi berakhir dengan perceraian pahit dan ia lalu berjuang dari kecanduan obat-obatan terlarang di mana Heldy pun turut membantu putrinya menemukan jalan keluar. Di saat keuangan mereka tipis, pembaca dibawa pada momen perih Heldy di mana ia harus menerima kenyataan untuk menjual semua hadiah-hadiah mahal Soekarno demi suami keduanya yang sakit dan tidak tersisa lagi materi dari tahun-tahun emasnya.
Menjadi suatu cara yang menarik untuk menggali sisi lain dari almarhum Presiden Indonesia, Soekarno, yaitu melalui sosok istri-istrinya. Semangatnya yang membawa bangsa Indonesia pada kemerdekaan, bersama dengan pesona dan warisan ia tinggalkan masih tak terlupakan. Romantisme, kisah cinta, pengorbanan, perjalanan---setiap bagian dari Soekarno telah menjadi nilai yang mengesankan dan berharga untuk ditemukan kembali.
Sayangnya, di sisi lain, biografi ini membuat kita, para pembaca, entah bagaimana, melihat gambaran Soekarno, sebagai seseorang yang memperlukan istri-istrinya seperti boneka dengan pemberian semua uang, properti, hadiah, perjalanan dan peluang karir yang mudah untuk saudara-saudaranya. Sulit untuk menjelaskannya karena narasi terpusat dari Heldy dan tidak ada wawancara yang dilakukan dengan anak-anak Soekarno atau pihak lainnya yang relevan. Namun, setiap kata yang ditulis dalam catatan untuk Heldy membuka lebih dalam jiwa puitis sang presiden, cara ia membagi kasih sayangnya, bagaimana ia memperlakukan seorang wanita. Desoekarnoisasi dapat saja pudar oleh sisi nyata manusiawi Soekarno seperti yang diceritakan kembali oleh istri terakhirnya itu.
Heldy tetap menyimpan surat-suratnya suami pertamanya (meskipun ada beberapa yang diminta untuk dibakar), bersama dengan kain Batik tradisional mahal. Benda-benda tersebut menjadi bukti momen-momen mimpi yang menjadi kenyataan dalam hidupnya. Bisa mengatakan bahwa mungkin sulit bagi pembaca untuk melihat sisi lain dari cerita. Seperti yang tertulis dalam ulasan ini sebelumnya, cerita ini tergantung pada pernyataan Heldy dan keluarganya. Tampaknya bahwa penulis agak takut atau terbatas untuk menulis dengan bebas mengenai Heldy dan Soekarno, dan terus mengulangi kata-kata yang membanggakan kebudayaan Indonesia secara kosong alias meaningless, dibandingkan menuliskan tentang fakta-fakta dan penelitian mendalam untuk biografi ini.
Biografi pertama yang diterbitkan ini serasa ada kerumpangan data, mungkin ada suatu agenda yang ditujukan. Untungnya, buku ini masih dapat mengisi poin-poin yang hilang dari sejarah setelah dirombak pada rezim Orde baru, terutama pada saat perpindahan kekuasaan. Kehidupan Heldy membawa kita lebih ke sisi lain dari Soekarno, yang membangunkan kita bahwa kisah cinta bukan milik satu orang, tetapi kedua yang berjalan bersama-sama, menciptakan bagian menyentuh dari kehidupan mereka. Dan sisanya hanya cerita akan seorang istri biasa dengan dongeng indah tak biasa yang kemudian meneruskan langkah takdir, menggenggam sosok Soekarno ke era reformasi saat ini di mana Soekarno dan perjuangannya hanya tinggal sejarah untuk ingat.
Biografi pertama yang diterbitkan ini serasa ada kerumpangan data, mungkin ada suatu agenda yang ditujukan. Untungnya, buku ini masih dapat mengisi poin-poin yang hilang dari sejarah setelah dirombak pada rezim Orde baru, terutama pada saat perpindahan kekuasaan. Kehidupan Heldy membawa kita lebih ke sisi lain dari Soekarno, yang membangunkan kita bahwa kisah cinta bukan milik satu orang, tetapi kedua yang berjalan bersama-sama, menciptakan bagian menyentuh dari kehidupan mereka. Dan sisanya hanya cerita akan seorang istri biasa dengan dongeng indah tak biasa yang kemudian meneruskan langkah takdir, menggenggam sosok Soekarno ke era reformasi saat ini di mana Soekarno dan perjuangannya hanya tinggal sejarah untuk ingat.
No comments:
Thanks for reading! Feel free to let me know what you like to say about the post.